Rabu, 11 Maret 2009

Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren

Pada awalnya , lembaga pondok pesantren tidak dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan sekolah atau madrasah seperti yang ada sekarang. Berdirinya sebuah pondok pesantren merupakan kebutuhan terhadap panutan dalam ajaran agama dan pembenahan atas sosial budaya masyarakat sekitar. Dalam tulisan ini mencoba memaparkan salah satu pesantren di jawa timur yang sampai sekarang exis menjaga tradisi dengan tidak tertinggal oleh zaman, seperti yang diajarkan pendahulunya Sunan Drajad.

Seperti yang sudah disinggung di atas lahirnya pesantren Tarbiyatut Tholabah tidak lepas dari sejarah masyarakat Desa Kranji yang pada waktu itu membutuhkan seorang pemimpin sebagai panutan umat. Kiai Musthofa yang telah lama berkelana untuk mendalami ilmu di sejumlah pondok pesantren (meliputi, Sampurnan Bungah Gresik, Langitan Tuban, Burno Bojonegoro, dan Kiai Kholil Bangkalan), akhirnya diminta masyarakat Kranji untuk menjadi pemimpin sekaligus guru masyarakat yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Sosok beliau yang santun, egaliter dan berwawasan luas menjadikannya beliau dipercaya sebagai panutan masyarakat, tepatnya pada bulan Jumadil Akhir, Kiai Musthofa mulai merintis sebuah pondok yang diberi nama Tarbiyatut Tholabah. Pesantren yang dirintis Kiai Musthofa langsung mendapat sambutan positif sebagai pusat pengembangan pendidikan ilmu agama islam masyarakat kranji dan sekitarnya.

Di masa Perkembangannya, atas intensitas, kegigihan, dan perjuangan kyai musthofa akhirnya menuai hasil yang luar biasa. Dapat dikatakan tidak sedikit sejumlah ulama lahir baik dari wilayah Lamongan sendiri atau dari daerah- daerah yang lain seperti Gresik, Tuban dan Bojonegoro. Yang pada awalnya adalah sebatas sebagai santri yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren hingga sampai pada inisiatif mendirikan pondok pesantren sendiri di asal wilayahnya. Hal ini adalah bukti kongkrit, dimana lulusan santri pesantren kranji dipercaya menjadi pemuka masyarakat didaerah setempat masing-masing. Kiai Lamongan yang masa mudanya belajar di pesantren ini adalah KH. Abdul Hadi (pengasuh pondok pesantren Al-Fatimiyah), KH. Muhammad Rofi’ (pengasuh pondok pesantren Darul Maarif Payaman), KH. Abdul Ghofur (pengasuh pondok pesantren Sunan Drajat), dan KH. Nur Salim (pengasuh pondok pesantren Tarbiyatul Huda Dengok).

Tepat pada tanggal 18 Desember 1950 M atau tanggal 8 Robiul Awwal 1370 H, Kiai Musthofa wafat. Untuk mengenang jasa beliau dalam membina umat, setiap tanggal 8 Robiul Awwal pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah mengadakan acara peringatan Maulud Nabi SAW dan Haul KH. Musthofa. Peringatan ini dilaksanakan setiap tahun pasca meninggalnya KH. Musthofa sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Peringatan haul ini menjadi penting dan sudah menjadi tradisi tahunan pesantren kranji.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah kenapa peringatan ini diadakan ? apakah hanya sekedar ritual mengenang belaka ? tentu tidak demikian yang harapkan. Di samping sebagai tradisi mengenang jasa-jasa pendiri dengan cara melakukan upacara doa bersama juga diharapkan mampu menilik ulang sepak terjang dan pemikiran yang beliau wariskan. Ini merupakan tugas bersama yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja oleh para penerus ajarannya. Pada prakteknya melalui peringatan haul ini, upaya untuk mempertahankan kode etik, budaya, ciri khas serta karakter Pesantren akan selalu diemban oleh para generasi berikutnya, walaupun model kepemimpinan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, moment ini juga harus dijadikan ajang evaluasi menyeluruh soal perkembangan pesantren dalam mencari dan memperbaiki format pesantren kedepan dengan tidak meninggalkan warisan berharga dari sang pendiri dan para pemimpin terdahulu.

Kedua, melalui Peringatan Haul yang ke 59 ini diharapkan semaksimal mungkin dapat terdeteksi model-model kepemimpinan pesantren sebelumnya. Dengan terlebih dahulu mengetahui dan memegang teguh ciri khas dan karakter pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji sebagai mata rantai dan benang lurus yang tidak akan pernah putus sampai masa-masa mendatang. Menurut hemat kami ada dua fase kepemimpinan, Pertama adalah masa kepemimpinan K.H Mustofa sampai KH. Adelan Abdul Qodir menggunakan metode “salafi”, yang mengedepankan kultur dan ritual keagamaan melalui, kajian kitab kuning, khifdul Qur’an, Qiro’ati. Metode ini dianggap ampuh untuk membekali moral, pemahaman agama serta sikap hidup masyarakat pantura yang dikenal rasional. Kedua, masa kepemimpinan Kiai Baqir Adelan yang menawarkan metode salaf modern, dengan moto al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Ini bisa diidentifikasi dengan ritual keagamaan yang kental dengan dipadukan konsep pendidikan Modern. Hal ini menjadikan pesantren Kranji mengalami perkembang pesat dengan banyak lembaga pendidikan yang didirikan. Secara formal pesantren kranji telah mengembangkan lembaga pendidikan berbagai jenis, mulai dari Madarah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah Umum (MAU), Madrasah Aliyah Keagamaan(MAK) dan Madrasah Diniyah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Drajat (STAIDRA).

Sebagai sosok ulama di pantura, beliau sangat berhasil mengembangkan fungsi pesantren sesuai dengan kondisi zamannya. Seperti halnya pernyataan salah satu alumnus pesantren kranji yaitu Tholkhah Hasan. Menurutnya pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change.

Pesantren Tarbiyatut Tholabah sebenarnya mempunyai potensi besar untuk mengambil peranan sebagai agent of change. tergantung seberapa cerdik pesantren melakukan proses perawatan tradisi baik yang pernah ditanamkan oleh para pendahulunya. Terutama seberapa jauh kita mengenal dan mengidentifikasi pengaruh kepemimpinan KH. Baqir Adelan yang pada fase tertentu mengalami perubahan besar di bidang model pendidikan pesantren sesuai dengan harapan masyarakatnya. Tidak bisa dipungkiri, kepemimpinan KH. Bagir Adelan dapat dijadikan referensi berharga untuk perkembangan pesantren kranji selanjutnya, hal ini atas dasar karena lamanya beliau memimpin juga karena metode yang ditawarkan telah menuai hasil yang luar biasa. Intinya berbicara mengenai perkembangan pesantren Tarbiyatut Tholabah tidak lepas dari peranan dari Kyai Baqir Adelan.

Seperti telah disinggung diatas, Pesantren sebagai transfer ilmu dan nilai agama telah diterapkan oleh kebanyakan pesantren-pesantren pada umumnya. Tetapi Pesantren sebagai lembaga yang berfungsi terhadap kontrol sosial dan rekayasa sosial secara keseluruhan belum bisa dimiliki oleh kebanyakan pesantren. Maka tidak heran jika alumnus pesantren belum mampu berkiprah di masyarakatnya, pemahaman agama yang dimiliki alumnus belum tentu dapat di transformasikan dengan baik sesuai dengan kekhasan karakter sebuah pesantren. Imbasnya Kepercayaan masyarakat terhadap alumnus pesantren tidak malah membaik melainkan semakin menurun kaitannya dengan kualitas kepribadian seorang santri. Hal inilah yang sering menjadi sorotan KH. Baqir Adelan dalam memegang kepemimpinan pesantren, beliau tidak mengutamakan kuantitas santri melainkan menitikberatkan pada kualitas santri-santrinya. Beliau menghendaki sedikit tapi berkualitas. Oleh karenya posisi pesantren pada poin kedua, yakni fungsi terhadap kontrol sosial sedikit banyak pesantren kranji telah mendapat tempat bagi kalangan masyarakat. Demikian ini terbukti Pesantren Tarbiyatut Tholabah kranji dan para alumnusnya mampu menjadi panutan dan kiblat oleh masyarakatnya, baik itu urusannya dengan pemahaman keagamaan, kultur budaya, hukum dan politik. Dll.

Sedang pencapaian pada fungsi rekayasa sosial, Pesantren kranji semaksimal mungkin telah melakukan usaha sedemikian rupa. Hanya saja belum terlihat jelas dan belum menuai hasil yang memuaskan. Rekayasa sosial dapat didefinisikan sebagai ruang penciptaan kreatif sebagai solusi atas beberapa persoalan kultural masyarakatnya Sehingga mampu mengatasi kebuntuan dan stagnan. Pembekalan pada wilayah ini memang harus dipikirkan bersama bagaimana seharusnya pesantren mampu menciptakan santri sebagai tokoh yang kreatif, inofatif, dan produktif Sekaligus sebagai motor penggerak untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Ketiga fungsi pesantren diatas, harusnya menjadi konsep dan arah pesantren masa depan. Oleh karenanya perlu penegasan ulang sebuah pesantren untuk pencapaiannya. Mulai dari persiapan potensial para pengajarnya, kesiapan fasilitas yang dimilikinya, menejemen pesantren, turunan konsep ide dan gagasan melalui program-program kongkrit, serta yang tak kalah penting adalah langkah dan trategi yang diterapkannya. Kesemuanya dapat dibungkus dalam kerangka besar visi misi pesantren bersangkutan, demikian ini tentunya dari hasil pembacaan kepemimpinan sebelumnya Ibaratnya seseorang tidak akan bisa menulis dengan baik tanpa terlebih dahulu sering membaca hasil karya tulisan orang lain, hanya saja perlu waktu dan peluang untuk menjadi pesantren terdepan. Penulis optimis pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji akan terus berwibawa, berkembang dan jaya pasca kepemimpinan berikutnya. (dari berbagai sumber)
* artikel ini dimuat dalam buletin al-Washiyah edisi, Maret 2008

0 komentar:

Anda Klik; anda mendapat rupiah

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP