Politisi Perlu Pendidikan Politik
Fraksi-fraksi di partai politik Indonesia tidak dikanalisasi dan diinstitusionalisasi dengan baik. Akibatnya, yang terjadi adalah munculnya "gerombolan-gerombolan liar" yang saling jegal dan mengkhianati komitmen demokrasi. Pendidikan politik menjadi penting tidak hanya buat rakyat, tetapi juga politisi sendiri.
"Demokrasi, tidak bisa tidak, harus dimulai dari partai politik. Demokrasi jadi nonsens selama tidak ada konsolidasi demokrasi dalam partai
Berbagai konflik pascakongres dan muktamar, terjadi karena konsolidasi dan kaderisasi yang belum selesai bertautan dengan faksionalisme dan menguatnya pragmatisme politik. Orientasi politik bukan berdasarkan komitmen ideologis, tetapi kekuasaan sementara, yang berjalan berbarengan dengan lemahnya sistem perekrutan dan kaderisasi yang belum solid.
Dengan mudah orang-orang yang punya kekuatan tawar berupa ekonomi bisa mem-bypass prosedur partai yang rapuh. "Kemenangan Jusuf Kalla dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar memberi preseden tentang bypass tersebut. Kasus itu menimbulkan efek menular (contagious effect) pada partai lain,
Menurut sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Francisia SSE Seda, proses institusionalisasi partai politik di Indonesia memang belum berjalan baik. Ini ditunjukkan dengan tidak ditaatinya aturan internal yang disepakatinya sendiri. Seharusnya, politisi bukan hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan untuk mendapat kekuasaan, tetapi menjadikannya sebagai organisasi politik profesional dan modern. "Idealnya partai politik itu tidak usah terlalu banyak. Untuk demokratisasi itu bukan perkembangan yang positif," katanya. "Proses institusionalisasi dan mekanisme prosedur internal partai politik belum mapan sehingga orang bisa melakukan tandingan, membuat aklamasi, menduduki kantor," katanya menambahkan.
Rebutan memimpin
Politik kini makin menjadi sumber daya yang dipertaruhkan untuk keuntungan material. Kedudukan pengurus partai sangat diimpikan karena mendapat keuntungan material. "Itu juga menjelaskan mengapa pimpinan partai menjadi rebutan. Bukan untuk kepentingan ideologis, tetapi untuk daya tawar ekonomi.
Sebagai bagian solusi, harus ada upaya pembelajaran dan pelaziman kolektif pada partai politik tentang manajemen partai politik modern. Proses ini harus dibarengi kontrol publik untuk memberi penyadaran bahwa mendirikan parpol harus punya dukungan sosial.
Dalam kondisi yang demikian bagi mereka yang optimis, perpecahan partai politik merupakan proses wajar dalam masa transisi demokrasi. "Dalam perjalanan waktu diharapkan pelan-pelan berubah. Tapi bagi yang pesimis, kondisi ini cuma menunjukkan para politisi yang belum mereformasi diri menjadi partai modern,
"Demokrasi, tidak bisa tidak, harus dimulai dari partai politik. Demokrasi jadi nonsens selama tidak ada konsolidasi demokrasi dalam partai
Berbagai konflik pascakongres dan muktamar, terjadi karena konsolidasi dan kaderisasi yang belum selesai bertautan dengan faksionalisme dan menguatnya pragmatisme politik. Orientasi politik bukan berdasarkan komitmen ideologis, tetapi kekuasaan sementara, yang berjalan berbarengan dengan lemahnya sistem perekrutan dan kaderisasi yang belum solid.
Dengan mudah orang-orang yang punya kekuatan tawar berupa ekonomi bisa mem-bypass prosedur partai yang rapuh. "Kemenangan Jusuf Kalla dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar memberi preseden tentang bypass tersebut. Kasus itu menimbulkan efek menular (contagious effect) pada partai lain,
Menurut sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Francisia SSE Seda, proses institusionalisasi partai politik di Indonesia memang belum berjalan baik. Ini ditunjukkan dengan tidak ditaatinya aturan internal yang disepakatinya sendiri. Seharusnya, politisi bukan hanya menggunakan partai politik sebagai kendaraan untuk mendapat kekuasaan, tetapi menjadikannya sebagai organisasi politik profesional dan modern. "Idealnya partai politik itu tidak usah terlalu banyak. Untuk demokratisasi itu bukan perkembangan yang positif," katanya. "Proses institusionalisasi dan mekanisme prosedur internal partai politik belum mapan sehingga orang bisa melakukan tandingan, membuat aklamasi, menduduki kantor," katanya menambahkan.
Rebutan memimpin
Politik kini makin menjadi sumber daya yang dipertaruhkan untuk keuntungan material. Kedudukan pengurus partai sangat diimpikan karena mendapat keuntungan material. "Itu juga menjelaskan mengapa pimpinan partai menjadi rebutan. Bukan untuk kepentingan ideologis, tetapi untuk daya tawar ekonomi.
Sebagai bagian solusi, harus ada upaya pembelajaran dan pelaziman kolektif pada partai politik tentang manajemen partai politik modern. Proses ini harus dibarengi kontrol publik untuk memberi penyadaran bahwa mendirikan parpol harus punya dukungan sosial.
Dalam kondisi yang demikian bagi mereka yang optimis, perpecahan partai politik merupakan proses wajar dalam masa transisi demokrasi. "Dalam perjalanan waktu diharapkan pelan-pelan berubah. Tapi bagi yang pesimis, kondisi ini cuma menunjukkan para politisi yang belum mereformasi diri menjadi partai modern,
0 komentar:
Posting Komentar