Kamis, 22 April 2010

Budaya Jawa Mencipta Harmoni Sosial


Spirit kebudayaan selalu menghadirkan ruang kreativitas untuk serasi, seimbang, dan seharmoni. Latar kesejarahan di Jawa mengabarkan bahwa spirit budaya menjadi kekuatan ampuh mempersatukan heterogenitas budaya Jawa yang seringkali terpencar. Spirit itu tercermin, menurut Bung Karno, dalam budaya gotong royong yang menciptakan ruang kekerabatan dan keharmonisan antar warga. Dengan gotong royong inilah masyarakat memahat jejak artefak sejarah keagungan Jawa yang nyentrik dan penuh nuansa makna. Tak salah kemudian kalau Bung Karno menjadikan gotong royong sebagai inti dan dasar utama terwujudnya demokrasi di Indonesia.

Buku “Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender)” berusaha menghadirkan simpul-simpul strategis dalam budaya Jawa yang mencipta ruang gerak harmoni bagi warga. Simpul-simpul ini tercermin dalam ritus keseharian yang menjelma menjadi kesadaran magis begitu kuat dalam jejak kebudayaan dan peradaban Jawa sepanjang sejarahnya. Bahkan, sampai sekarang, ritus ini menjadi sombol “pertemuan agung (great meeting)” budaya Jawa: sebuah pertemuan yang sukses mempererat jiwa warga ditengah krisis identitas. Krisis identitas yang terus menggelayut, menghayutkan, dapat dibendung dengan kesadaran magis secara halus, seksama, dan penuh nuansa. Simpul inilah, yang oleh penulis, dikatakan sebagai narasi besar dalam latar panjang sejarah budaya Nusantara.

Salah simpul yang terus disentuh setiap saat adalah bahasa Jawa. Dalam falsafah Jawa, ajining diri soko lathi, berarti harga diri seseorang diantaranya tergantung pada mulut, ucapan, dan bahasanya. Kata-kata yang fasih, manis, dan empan papan (tahu situasi dan kondisi) akan menyenangkan hati. Sedangkan perkataan yang kotor, jorok, kasar, dan rusak akan menyakitkan hati orang lain. Sumber malapetaka seseorang kebanyakan dari lidah yang tidak terkendali. Untuk itu, dalam bahasa Jawa dikenal unggah-ungguh, sopan santun dalam berbahasa. Kalau dengan orang lebih tua, maka unggah-ungguh nya menggunakan kromo inggil. Kromo inggil biasa digunakan dilingkungan Kraton Ngayogyokarto dan Kasultanan Surokarto. Sementara bahasa dengan sesama menggunakan ngoko: sebuah dialek kerakyatan yang penuh keakraban dan keharmonisan.

Simpul berikutnya tercermin dalam ritus orang keramat, roh, dan selametan. Ritus-ritus ini adalah warisan dasar budaya Jawa yang terus mengakar, walaupun sekarang ritus ini telah disisi dengan dimensi keagamaan yang sangat kental. Thoh demikian, ritus-ritus keramat tetap menjadi “agama Jawa” yang mampu mengakomodasi spirit Hindu India dengan spirit Islam yang kemudian diakulturasikan dengan budaya Jawa. Wujud akulturasi inilah yang tetap menjaga ritme keseimbangan harmonitas social yang terpanjang dalam kekuatan budaya Jawa. Dalam ritus orang keramat, roh, dan selametan, budaya Jawa mengajarkan kita ihwal sebuah pertautan ruhani yang mendalam dengan para pendahulu. Harmoni social bukan sekedar tercipta dengan ruang gerak fisikal, tetapi juga melalui jalan metafisik-spiritual yang mengelorakan nurani dalam satu kesatuan tunggal.

Dalam mengikat kebersamaan, simpul budaya Jawa tercermin dalam nyadran. Tradisi nyadran menjadi mudik spiritual dan kemanusiaan yang menggerakkan warga dalam kebersamaan yang kukuh. Dalam kebersamaan termaktub falsafah mangan ora mangan kumpul, makan atau tidak makan, yang penting tetap bersama. Karena kuat kebersamaannya, maka wonten sekedek dipundum sekedek, wonten katah inggih dipundum katah, bila ada (rizki) sedikit, akan dibagi sedikit, tetapi jika ada banyak, maka akan dibagi banyak pula. Dalam kebersamaan, dibutuhkan kesabaran yang berlipat ganda. Karena sabar duwur wekasane, kesabaran akan menuju ke ketinggian martabat.

Sementara dalam penciptaan kohesi social yang utuh, simpul falsafah budaya Jawa mengabarkan bahwa dalam gotong royong harus dikedepankan sifat sepo ing pamrih, rame ing game. Artinya, dalam kerja kebersamaan jangan sampai tercipta penyakit ingin dipuji, dibangga-banggakan, dan disanjung-sanjung. Bukan demikian. Tetapi harus sepi ing pamrih, tidak menghendaki pujian dan sanjungan, tetapi harus rame ing game, bersemangat dalam kerja dan kreativitas. Dengan kesabaran dan ketulusan, maka spirit rame ing game akan menjadi kekuatan sangat dahsyat mengobarkan jiwa-jiwa pemberani yang nantinya menjadi sopir kebudayaan dan peradaban bangsa.

Simpul-simpul tersebut dalam budaya Jawa dimanifestasikan secara arif dengan spirit ajaran agama (Islam) yang kosmopolitan. Jadilah sebuah simpul besar yang memancarkan cahaya pencerahan di segala penjuru pelosok Jawa dan Nusantara. Di titik inilah, budaya Jawa akan selalu menjadi rujukan utama dalam mencipta harmoni social dalam hidup berbangsa dan bernegara. Buku ini akan memperkaya khazanah kebudayaan Jawa, terlebih penulis juga menambahkan dengan spirit edukasi dan kesetaraan gender yang sedang menggelinding dalam penciptaan kemajuan peradaban Nusantrara. Setapak demi setapak, harmoni social dalam budaya Jawa harus terus ditegakkan untuk menyangga struktur tubuh Nusantara yang sedang dibalut berbagai penyakit social yang sedang berkecamuk.

selanjutnya...

Rabu, 21 April 2010

Runtuhnya Singgasana Politik Kiai


Ada pertaruhan besar bagi para kiai yang terus bermanufer dalam kancah politik kekuasaan. Yakni pertaruhan “kuasa moral” kiai dalam melumpuhkan, menghancurkan, dan memutus jaring kuasa politik yang dalam bahasa YB Mangunwijaya (1997:4), dunia politik digenangi dan dirembesi jiwa korup, mental mencuri, bohong, main tipu, suka yang semu, urik, tidak kenal fair play, dan telah mencengkeram bangsa.
Di tengah pertaruhan inilah seringkali kiai gagal menjalan peran profetiknya di dunia politik kekuasaan. Kiai gampang di”kibuli” para politisi yang memang mudah main “silat lidah”, sementara kiai berdiri dengan pakem politiknya yang kaku dan normative. Massa besar yang berada dibelakang kiai hanya dijadikan modal social politisi untuk melanggengkan kekuasaan yang mengibuli. Kiai akhirnya kerap “jatuh” dalam dunia politik bahkan sekarang malah dijauhi umatnya, karena telah “terinfeksi” oleh kotornya politik kuasa.
Buku bertajuk “Gagalnya Peran Politik Kiai dalam Mengatasi Krisis Multidimenasional” karya Heri Kiswanto mencoba hadir untuk mengkritik gerakan politik kiai yang mudah lalai dengan umat dan pesantrennya karena sibuk dengan orientasi politik kekuasaannya.
Idealnya, kuasa moral kiai diharapkan mampu mencipta hegemoni, meminjam istilah Gramsci (1891-1937), yang positif. Dalam arti, kiai memang berpengaruh signifikan merubah perilaku politik bangsa dan berpengaruh juga atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak merakyat. Banyak kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah hanya memihak segelongan tertentu (yang telah mapan), padahal mayoritas penduduknya sedang terpuruk ditengah kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan peminggiran sosial. Rakyat sedang dicekik, tetapi tidak pernah dibela. Para wakil rakyat yang sebelum terpilih berjanji akan memperjuangkan hak kaum kecil, ternyata lupa, duduk manis menikmati kue kekuasaan.
Turun gunung”nya para kiai membentuk partai bertugas mampu membela hak-hak rakyat tersebut. Tidak lain karena kiai adalah pewaris Nabi (al-‘ulama’ waratsatu al-anbiya’). Nabi bukan sekedar pemimpin agama. Nabi berjuang dengan gigih melawan penindasan dan ketidakdilan. Dan memang fondasi dasar beragama adalah berbela kemanusiaan sebagaimana juga dilakukan para peletak fondasi agama dizaman aksial (900-200 SM) yang mewartakan agama adalah berbela rasa; mengedepankan cinta, keadilan, kemanusiaan, kesederajatan, dan melampaui egoisme dan egosentrisme.
Para kiai, dalam terminologi Ali Syariati, merupakan nabi-nabi sosial yang mencerap jalan para nabi. Nabi tidak hanya mengkhotbahkan kebaikan dan kebajikan, namun juga memberikan teladan dalam medan sosial. Tugas kenabian tidak hanya melulu dilakukan melalui majelis, mimbar, dan podium, tetapi juga aksi-aksi praksis, baik melalui gerakan sosial maupun gerakan politik.
Metode keteledanan (uswah hasanah) adalah gerakan beragama yang bersifat soft-power, yakni menjunjung tinggi keteladanan, moralitas, pembelaan atas kaum mustadh’afin, dan penegakan hak asasi manusia. Makanya, menghindari politik dan kekuasaan yang dianggap bobrok sama dengan membiarkan kemungkaran bertahan di muka bumi ini.
Itulah tanggungjawab sosial para kiai. Walaupun sejarah telah membuktikan bahwa keterlibatan ulama’ dalam dunia politik kerap kali membuat ulama’ terlena; kalah dimedan pertempuran. Penulis mensinyalir ihwal berbagai tragedi yang telah menjerumuskan dan merusak reputasi kiai dimedan politik. Godaan kekuasaan yang menggiurkan membuat komitmen dan nalar kritis kiai luntur, atau bahkan gagap melihat realitas tersebut, sehingga gagal menjalan peran profetiknya sebagai penjaga “kuasa moral”.
Kegagalan-kegalalan itu bisa terbaca ketika para kiai membabtis NU tidak lagi terikat apapun dengan partai politik, dalam Muktamarnya di Situbondo tahun 1984. Para kiai merasa, mereka dan organisasinya (NU) telah terjerumus, makanya harus Khittah ke jalur awalnya yang rumuskan para pendiri tahun 1926. Hal yang sama juga terjadi dalam Pemilu Presiden tahun 2004, dimana politik kiai diacak-acak oleh lawan politiknya. Akibatnya, masyarakat bingung, karena para kiai panutannya bercerai berai, tidak ada pegangan kuat (urwatu al-wutsqo) yang dapat dijadikan sandaran berpolitik.
Kiai hadir sebagai ‘nabi sosial’ yang gagah berani meluruskan berbagai kebijakan yang amoral. “Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit” (quulil haqqa walau kana murron), yang sering diceramahkan kiai diberbagai acara harus dijalankan ditengah bobroknya sistem politik. Inilah prinisp berpolitik.
Inilah yang telah dijalankan Nabi, Khulafaurrasyidin, dan Umar bin Abdul Aziz. Sebagai pemimpin mengayomi seluruh masyakat, tidak membedakan Islam, Kristen, Yahudi, dan lainnya. Semua diperlakuakn sama. Umar bin Khattab tampil dengan gagah; rela menjadi orang pertama yang lapar ketika rakyatnya diterpa kelaparan. Umar bin Abdul Aziz tidak mau menggunakan lampu kamar dinasnya kalau tidak untuk kepentingan negara. Merekah penjaga “kuasa moral” yang sangat pantas dijadikan teladan berbangsa dan bernegara.
Kini, tantangan kiai ditengah krisis moral dunia politik bukan sekedar mencipta tatanan moral saja. Kehadiran kiai dipanggung politik bukan sekedar menjadi penceramah agama atau menjadi pemimpin doa dalam sebuah pertemuan. Kalau ini yang dapat dilakukan, mendingan ‘pensiun’ saja kiai dari panggung politik. Balik ke kampung halaman, mengaji, mengajarkan ilmu agama kepada umat. Sekali terjun didunia politik, kiai tidak hanya tetap menjadi pengasuh pesantren, tetapi juga menjadi pengatur strategi perjuangan sebagaimana dilakukan sebagai pialang budaya (cultural broker), meminjam istilah Clifford Geertz, yang menjadi seorang guru di suatu pondok pesantren dan sarjana ilmu keislaman. Sebagai pialang budaya, kiai harus mengerti benar strategi-strategi perjuangan dalam mencipta kemaslahatan umat.
Perlu langkah-langkah rasional-strategis yang dapat merubah bobroknya sistem politik kita. Dalam hal ini, penulis melihat langkah rasional dapat dilakukan dengan; pertama, pemerkuatan posisi tawar para kiai, baik yang hendak duduk di kursi kekuasaan maupun yang sekadar mendukung, melalui perumusan "manifesto politik bermoral" yang harus disepakati bersama pendukungnya; kedua, membunuh benih- benih Machiavellian (menghalalkan segala cara, the ends justifies the means) dari urat nadi politik kita melalui kampanye bersih yang jauh dari politik uang dan benar-benar ditegakkan seluruh elemen bangsa; ketiga, agregasi kekuatan elemen-elemen parpol dan non-parpol yang akhirnya akan menjadi penentu berhasil-tidaknya kedua faktor itu. Inilah tugas besar yang harus dijalankan. Disinilah kiai akan terbukti menjadi khalifah tuhan yang menggempur praktek politik khalifah syetan.

selanjutnya...

Anda Klik; anda mendapat rupiah

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP