Rabu, 20 Mei 2009

SBY ingin Kembalikan Era Executive Heavy!?

I. Era Eksekutif Heavy – Soeharto 1967-1998.

Sebagai kita ketahui bersama selama periode pemerintahan Presiden Soeharto (1967-1998) Indonesia pernah mengalami masa EKSEKUTIF HEAVY atau lajimnya disebut dengan dominasi dan menonjolnya peran kekuasaan eksekutif di banding dengan peran kekuasaan dari dua pilar pusat kekuasaan negara lainnya yaitu Legislatif dan Yudikatif. Demokrasi di pandu untuk mewujudkan stabilitas secara berkelanjutan guna menjamin arah pembangunan berjalan sesuai kehendak pemerintah berkuasa saat itu.


Penentuan jabatan politik dan jabatan publik sepenuhnya dikendalikan oleh tiga jalur saat itu yaitu CENDANA, ABRI, GOLKAR, Siapapun yang ingin menjadi Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota atau bahkan Ketua DPR/DPRD dan jabatan-jabatan penting lainnya dilembaga-lembaga tinggi negara harus melalui restu dari 3 jalur tersebut karena 3 jalur itulah yang memilih dan menetapkan keterpilihan seseorang pada saat itu diposisi-posisi jabatan politik dan publik. Hasil dari itu semua adalah apa yang sekarang menjadi pekerjaan rumah ( KKN, Utang luar negeri, Penguasaan sumberdaya mineral-batubara oleh korporasi asing, BUMN yang tidak memiliki nilai tambah untuk pemajuan ekonomi negara, Reformasi Birokrasi, Kemiskinan, Lemahnya daya saing serta kualitas SDM, dll) yang menumpuk bagi pemerintahan pasca presiden Soeharto (Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY).


Hal positif namun perlu ditelaah dalam segi isi dan substansi dari era pemerintahan presiden soeharto ini adalah adanya Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang dipandu dengan cetak biru bernama GBHN (Garis-garis besar haluan negara). Kalau dalam era pemerintahan presiden SBY namanya Rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang (RPJP, RPJM, Propenas), Namun di era pemerintahan presiden soeharto REPELITA itu wajib berjalan secara nasional menyeluruh serentak disemua daerah, Kalau di era pemerintahan presiden SBY rencana pembangunan dan program pembangunan nasional itu sering tidak sinkron dengan maunya daerah-daerah sehingga sangat sulit berharap ada pencapaian makro dan mikro secara serentak disemua wilayah. Terlebih lagi kewenangan pemerintah pusat sekarang hanya lima, selebihnya urusan kewenangan pemerintah daerah (Otonomi Daerah).


II. Era Legislatif Heavy 1998-2004.

Pada era pemerintahan Habibie, Gusdur dan Megawati, Pilar kekuasaan negara di dominasi oleh Legislatif maka muncullah istilah LEGISLATIF HEAVY , Peran kekuasaan legislatif sangat menonjol pada era pemerintahan ini baik dipusat maupun didaerah-daerah,Buktinya presiden Gusdur saja bisa dilengserkan oleh legislatif, Begitupun dengan Bupati, Walikota dan Gubernur, sering kandas masa jabatannya di tangan legislatif. Menguatnya era legislatif heavy ini didasari oleh terbelenggunya peran legislatif dimasa pemerintahan presiden soeharto dimana DPR dan MPR adalah alat stempel pelengkap kekuasaan pemerintah saja saat itu, Selain itu euforia multipartai dengan pemilu paling demokratis setelah era ORDE BARU turut menjadi sebab menguatnya gejala legislatif heavy dan yang paling pokok adalah legislatif memegang peranan penting dalam menentukan posisi jabatan politik dan publik (Presiden,Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dipilih oleh legislatif sesuai tingkatannya). Produk dari era legislatif heavy ini adalah era otonomi daerah dan penguasaan aset-aset BUMN oleh kroni-kroni parpol serta Penguasaan jabatan dan jaringan kekuasaan dikementrian-kementrian strategis oleh tokoh-tokoh parpol. Namun positifnya pada era legislatif heavy ini menelurkan kesepakatan penting yang akan mengubah peta kekuasaan diantara tiga pilar pusat kekuasaan negara yaitu kesepakatan untuk memutuskan bahwa presiden republik Indonesia di pilih secara langsung oleh rakyat bukan lagi dipilih oleh legislatif.


III. Era Yudikatif Heavy 2004-2009.

Untuk pertamakalinya di ujung era pemerintahan Megawati, dilaksanakan pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kemudian terpilihlah SBY-JK. Era pemerintahan SBY adalah era YUDIKATIF HEAVY, walaupun embrionya telah dimulai pada masa-masa di ujung pemerintahan Megawati, Era yudikatif heavy ini menguat seiring dengan bertambah parahnya praktek-praktek KKN dan penyimpangan kewenangan baik di pusat maupun didaerah-daerah sebagai imbas dari besarnya kewenangan pemda-pemda dalam mengatur keuangan daerahnya disaat yang sama Korps Kejaksaan, Kepolisian dan Instrumen pengawasan internal pemerintahan seperti Irjen sampai Itwil tingkat daerah masih belum maksimal menjalankan fungsinya dan beberapa kali malah aparatur penegak hukum distruktur kabinet pemerintahan ini justru terlibat dalam masalah-masalah penyimpangan kewenangan. Mahkamah Agung yang diharapkan berfungsi maksimal justru tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dilain sisi peraturan-peraturan daerah sering bertabrakan dengan aturan yang lebih tinggi dan DPR serta DPRD juga tenggelam dalam gelombang skandal keuangan negara dan penyimpangan kewenangan dalam pengelolaan keuangan dan tak jarang produk legislasi setingkat Undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, Pada era pemerintahan SBY ini juga Presiden tidak hanya mengeluarkan Kepres tapi juga Perpres (Peraturan Presiden) dan pada periode pemerintahan ini juga banyak dikeluarkan Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang).


Maka dari itu untuk menangani persoalan-persoalan akut dalam praktek-praktek korupsi dibentuklah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Untuk menangani sengketa dan sebagai pengadil pertentangan-pertentangan hukum yang terjadi dalam kerangka untuk memastikan bahwa produk peraturan-peraturan, undang-undang dan keputusan-keputusan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan hak-hak warga negara yang tercantum dan dijamin dalam UUD 1945 tidak dilanggar maka dibentuklah MAHKAMAH KONSTITUSI (MK). Peranan KPK dan MK dalam era pemerintahan SBY ini sangat menonjol dan menjadi katup pembuka tujuan-tujuan yang benar dan meminimalkan praktek-praktek menyimpang serta memberikan motivasi juga harapan kepada banyak orang bahwa hukum berjalan sebagaimana mestinya tanpa pandang bulu dan setara untuk semua orang.


Namun masih banyak kasus – kasus besar soal korupsi dinegara ini yang belum terkuak seperti BLBI dan SBY pun dinilai juga kurang tegas dan terkesan mengembangkan ’penegakan hukum secara adat’ terhadap beberapa ának buahnya’ yang diduga terlibat kasus korupsi dan penyimpangan kewenangan, yaitu dengan membiarkan mantan pejabat menteri2 nya dan menteri (setingkat menteri) yang Sudah tidak / masih menjabat sekarang dan tidak diproses secara hukum yaitu Yusril Ihza Mahendra, Sudi Silalahi, Hamid Awaluddin, Dino Patti jalal, Maftuh Basyuni, Fahmi Idris, Paskah Suzeta, MS Kaban, Freddy Numbery, dll. Sampai hari ini pun masih terbersit sejumlah pertanyaan atas sikap SBY yang tidak segera mengganti Jaksa Agung Hendarman Supanji walaupun nyata-nyata 2 anak buah penting sang jaksa agung terlibat dalam perkara suap Artalyta dalam kasus BLBI dan merupakan bukti kegagalan kepemimpinan sang jaksa agung di korpsnya.


Dilain sisi terkatung-katungnya UU Tipikor di DPR juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan karena sejatinya UU itu adalah bagian dari strategi untuk penguatan fungsi dan peran penegakan hukum terutama KPK dalam upaya pencegahan, pemberantasan dan penindakan tindak pidana korupsi. Tindakan lamban, Setengah hati dan Fakta yang membingungkan dalam penuntasan kasus dugaan keterlibatan mantan ketua KPK Antasari Azhar dalam tindak pidana pembunuhan Alm.Nasrudin, Secara tidak langsung memberikan ruang dan celah bagi upaya pihak-pihak tertentu memanfaatkan dugaan keterlibatan mantan ketua KPK ini sebagai entry point untuk menggerus kewibawaan dan eksistensi kelembagaan KPK. bisa jadi ini merupakan pertanda mulai surutnya era YUDIKATIF HEAVY.


IV. Gejala ingin mengembalikan era ’Executive Heavy’ .

Selain daripada mulai surutnya era Yudikatif Heavy dalam tahun terakhir masa pemerintahan presiden SBY, Bangunan koalisi untuk mencapai penguasaan mayoritas diparlemen -/+ 55 s/d 70 % menjadi agenda utama pemerintahan SBY periode berikutnya, alasan pembenar SBY dan Partai Demokrat untuk menjalin koalisi dengan beberapa partai seperti PKB, PKS, PAN, PPP dan bahkan mulai mendekati PDIP belakangan ini adalah yang pertama untuk pemenangan Pilpres 2009 dan yang kedua adalah membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif dalam pengertian lain adalah pemerintahan yang tidak mendapat ganjalan dari kalangan legislatif karena koalisi yang dibangun adalah koalisi permanen lengkap dengan kontrak politik koalisinya.


Kalau berkaca kebelakang sepanjang era pemerintahan SBY, Rasanya tak banyak ganjalan berarti dari parlemen terhadap program-program pemerintah, Reaksi keras dari parlemen lebih banyak terkait beberapa persoalan yang memang urgent dan subtantif seperti mendorong pansus kebijakan energi nasional dan menuntut sikap tegas pemerintan RI terkait resolusi DK PBB untuk memberikan sanksi bagi IRAN yang tetap melanjutkan program pengayaan uraniumnya untuk tujuan damai dan energi nasional mereka. Dua hal ini bukanlah ganjalan tapi justru sikap politik dari parlemen yang sudah sewajarnya di dukung juga oleh pemerintah karena sikap politik ini menuntut adanya kebijakan yang lebih mandiri dalam pengelolaan sumberdaya Minyak dan Gas serta meminimalkan penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan energi nasional yang menjadi salah satu sebab negara kita belum terlepas sepenuhnya dari krisis energi padahal negara ini memiliki cadangan energi yang lebih dari cukup untuk memenuhi konsumsi energi dalam negeri.


Kalau terkait soal IRAN, Sudah sewajarnya Negara Indonesia yang menjalankan konsep diplomasi internasional yang bebas aktif dan mengakui kedaulatan negara lain patut mempertanyakan resolusi DK PBB yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip universalitas dan berpihak membabibuta pada negara israel padahal bentuk nyata ancaman Iran tersebut ibarat jauh panggan dari api, lalu dimana salahnya sikap parlemen tersebut yang menuntut agar pihak pemerintah Indonesia dapat bersikap adil dan tegas terkait persoalan ini.


Kecurigaan bahwa presiden SBY sedang mengatur siasat dan strategi untuk mengembalikan hegemoni kekuasaan eksekutif pada dua pilar kekuasaan negara lainnya dinegara ini yaitu Legislatif dan Yudikatif sedikit mendapatkan jawaban yang agak terang, bahwa presiden SBY melalui jalan pikirannya yang teropini dengan baik mengasumsikan bahwa parlemen haruslah sejalan selalu dengan pemerintah untuk mendukung terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif.


Bukankah negara demokrasi dan hukum seperti Republik Indonesia ini akan menjadi laebih maju lagi apabila tiga pilar kekuasaan dalam negara ini yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif memiliki kekuasaan dan peran yang sama dan berjalannya fungsi ketiga pilar dengan baik, Lalu kenapa presiden SBY menafikkan hal itu dan berusaha membawa semuanya dalam satu gerbong dalam opini membangun pemerintahan yang kuat dan efektif ? ……. hanya Presiden SBY yang tahu pasti jawabannya, Semoga tidak mengulang manajemen kekuasaan Alm. pak Harto .

sumber : public.kompasiana.com

0 komentar:

Anda Klik; anda mendapat rupiah

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP